Beranda

Wednesday 10 December 2014

PENDAKIAN GUNUNG SLAMET | DARATAN TERTINGGI JATENG


Setelah rencana pendakian ke Gunung Slamet di bulan September gagal karena adanya urusan yang tidak bisa ditinggalkan, alhamdulillah akhirnya di bulan Desember 2013 rencana pendakian dapat terealisasi. Jadi pendakian ke Slamet merupakan pendakian yang kami nanti-nantikan, berhubung gunung yang kami akan daki ini merupakan gunung yang paling tinggi di Jawa Tengah. Di Puncaknya kami berharap bisa menginjakkan telapak kaki dan menyaksikan hamparan yang luas, gulungan awan putih,  dan juga sunrise yang belum pernah kami saksikan dari puncak Gunung ini.

Personil cowok yang ikut ada 3 orang, aku (mukmin), Ari, dan Ai. Sedangkan yang cewek ada Mbak Eva dan Novi. Sebenarnya temen-temenku banyak yang ingin ikut, akan tetapi karena adanya halangan kesehatan, keuangan,  waktu dan cuaca yang kurang mendukung, akhirnya anggota yang benar-benar siap ke gunung Slamet tereduksi menjadi 5 orang saja.

Jalur pendakian yang akan kami ambil yaitu jalur Bambangan yang katanya merupakan jalur standar menuju puncak Slamet. Perjalanan kami menuju basecamp Bambangan menggunakan angkutan umum dengan mengambil rute Terminal Giwangan (jogja)-turun di Sukoharjo (purwokerto)- terminal purbalingga-pertigaan serayu.
Sebelum berangkat kami cari warung dulu di terminal Giwangan karena dari tadi siang tmen-temen sepertinya belum sempat ngisi perut. Akhirnya kami menuju salah satu warung prasmanan yang berdekatan dengan lokasi Bus untuk menunggu para penumpang. Kebetulan aku lagi tidak terlalu bernafsu makan, jadi aku cuma pesan Mie rebus telor aja. Sementara temen-temen yang lain makan nasi dengan lauk daging dan sayuran yang bermacam-macam. Setelah selesai makan, tibalah saatnya untuk membayar ke pemilik warung dengan menyebutkan satu persatu santapan yang diambil tadi. “Mie rebus telor harganya berapa mbak? ”, mbaknya menjawab sambil memencet kalkulator, “sepuluh ribu mas”. Bagiku harga segitu memang mahal, namun aku anggap wajar aja karena berhubung tempatnya di dalam terminal. Selanjutnya giliran Ari nyebutin makanan yang telah diambil tadi yakni nasi, ayam, plus sayur, dan ternyata total bayranya adalah 30 ribu. Waow…. Kata-kata 30 ribu bikin sempet kaget sampe-sampe si mbak pemilik warung di tanya lagi berapa yang harus dibayar. Ternyata kami tidak salah dengar dan harganya adalah 30 ribu. Dalam hati aku berfikir, harga makanan semahal itu mungkin nasinya diimpor dari Hongkong kali yak hehe… 

Berangkat dari Giwangan pukul 21.00 dengan menggunakan Bus yang harga tiketnya Rp 40.000. Perjalanan dari terminal giwangan menuju purwokerto mengalami kemacetan lalulintas yang parah sehingga perjalanan ke purwokerto yang seharusnya 5 jaman malah menjadi 10 jam. Hadeeeewh….. setelah bersabar melewati kemacetan, akhirnya kami tiba di Sukoharjo pukul 06.00 dan turun di sebuah persimpangan jalan. Di sana ternyata sudah banyak angkutan umum yang sedang mencari penumpang ke jurusan purbalingga dan pertigaan serayu. Kami bilang ke sopirnya kalo mau mendaki ke gunung Slamet dan musti ke pertigaan serayu. Pak sopir tahu maksud kami dan mengantarkan kami ke pertigaan serayu dengan ongkos Rp 15.000. Kami sampai di pertigaan serayu sekitar pukul 07.00 dan disana kami sarapan dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke basecamp bambangan. Warung tempat kami makan kali ini murah meriah dan enak. Di warung ini kami juga melengkapi perbekalan logistik yang masih kurang setalah itu baru meluncur ke basecamp bambangan menggunakan carry dengan ongkos Rp25.000 dan sampai di Basecamp pukul 10.00 lewat sedikit.

Alhamdulillah cuacanya cerah ketika di basecamp, sehingga kita bisa melihat gunung slamet yang sedang berdiri kokoh dan impianku menaiki gunung ini akan segera tercapai. Namun sebelum mendaki, di basecamp kami istirahat sebenatar, bersih-bersih kemudian registrasi. Di daftar registrasi ternyata sudah ada sekitar 100 pendaki yang lagi muncak ke gunung slamet. Waaah… banyak juga ternyata… bakal tambah seru dan rame kalo begini ni.

Di siang hari yang sangat cerah kami mulai melakukan pendakian  gunung Slamet. Setelah berdoa memohon keselamatan dan kesehatan kepada Allah swt, kami melangkahkan kaki meninggalkan basecamp. Perjalanan dimulai dengan menaiki jalan menanjak sampai tiba di sebuah gapura. Selanjutnya belok kanan masuk ladang dan menyusuri sungai. Setelah melewati perladangan kita akan menemui lapangan yang mirip lapangan sepak bola. Kami berjalan dengan tempo agak lambat sehingga berapa kali dilewati pendaki-pendaki SMA. “Mari mas, mari Mbak… ”  Setelah bebarapa jam kami tiba di pos 1. Di pos 1 kami melakukan ISHOMA, sehingga kami cukup lama menghabiskan waktu di tempat ini.

Setelah puas istirahat di pos 1, perjalanan kami lanjutkan ke pos 2. Perjalanan setelah pos 1 merupakan perjalanan memasuki area hutan yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi dan besar sehingga membuat suasana menjadi sangat teduh karena sinar mentari terhalang oleh pepohonan. Kalo dilihat memang suasananya lumayan menyeramkan.

Sekitar 2 jam menempuh perjalanan, kami tiba di pos 2. Area di pos 2 cukup luas sehingga mungkin bisa menampung beberapa tenda berukuran besar. Kami tidak ingin berlama-lama di pos 2 karena siang akan sebentar lagi berganti sore. Perjalanan menanjak terus kami lewati tanpa kenal lelah. Beberapa pos bayangan kami lalui dan beberapa pendaki mendirikan tenda untuk beristirahat. Walaupun banyak tempat kosong untuk mendirikan tenda, kami tetap terus melangkahkan kaki dan bertekad ngecamp di pos 5.

Hujan turun mengguyur kami yang sedang berjalan menuju pos 3.  Kondisi personil mulai kelelahan terutama yang cewek dan kami harus banyak istirahat di perjalanan. Namun Alhamdulillah yang penting tidak ada personil yang kondisinya terlalu ngedrop sehingga sampai pingsan. Walaupun perjalanan sangat lambat karena sering istirahat, pendakian tetap dilanjutkan sedikit demi sedikit. Dan kami tidak mau memaksakan diri berjalan dalam kondisi tak bertenaga. Prinsip ini benar-benar kami pegang teguh.  Sekitar pukul 17.00 kami sampai di pos 3. Di pos 3 ada yang mendirikan tenda dan kita istirahat meminum minuman hangat sambil ngobrol-ngobrol dengan para anak muda si pemilik tenda.

Waktu terasa sangat cepat berlalu. Gerimis hujan yang tak henti-hentinya mengguyur dan membasahi kami tidak kunjung berhenti. Oleh karena itu, kami tidak perlu berlama-lama di pos 3. Kami berpamitan dan undur diri dari pos tiga melanjutkan  target perjalanan kami menuju pos 5. Di tengah perjalanan menuju pos 4 hari mulai malam. Keadaan yang gelap mengharuskan kami mengeluarkan lampu penerang dan saling mengingatkan agar lebih berhati-hati saat berjalan, karena di tengah-tengah jalan setapak yang kita lalui saat mendaki gunung biasanya terdapat lubang atau joglangan yang membuat kaki terperosok ke dalamnya. Aku pernah mengalami hal ini ketika dulu mendaki ke gunung Sumbing di malam hari. Aku merasa kaget karena tiba-tiba kakiku yang sebelah kanan masuk ke dalam lubang yang cukup dalam. Akan tetapi aku masih beruntung sebab kakiku tidak mengalami luka maupun kesleo.

Akhirnya sekitar jam 19.00 kami tiba di pos 4 yakni pos samarantu. Di pos 4 suasananya sangat gelap. Tidak ada seorang pendakipun yang nongol dan mendirikan tenda disini. Penyebabnya mungkin seperti yang sering diceritakan di internet ada mitos bahwa di pos 4 ada hantu penunggunya dan pernah ada pendaki yang diganggu ketika mendirikan tenda disana. Terus terang saja ketika aku sampai di pos 4 bulu kuduku sedikit merinding gara-gara mengingat cerita hantu seperti itu. Aku meminta temenku agar tidak berhenti di pos ini dan menyarankan agar lanjut saja ke pos 5. Toh juga pos 5 tinggal beberapa menit lagi. Beberapa menit setelah meninggalkan pos 4 kami mendengar ada suara-suara ramai para pendaki yang sedang ngecamp di pos 5. Alhamdulillah…. Akhirnya sampai di pos 5.

Di pos 5 karena saking ramenya, kami tidak tahu dimana harus mendirikan tenda. Area di pos 5 sudah penuh dengan tenda. Sebenarnya ada lahan kosong, namun kondisinya miring dan berada persis di pinggir jalur pendakian. Karen sudah mencari kemana-mana dan tidak menemukan tempat lain, kami terpaksa mendirikan tenda di lahan yang agak miring. Yang penting bisa berteduh bung…. Hehehe…

Kami mendirikan dua buah tenda, satu untuk cowok dan satu lagi untuk cewek. Di malam hari yang dingin ini enaknya menghangatkan badan sambil masak-masak di dekat perapian. Aku pikir sudah tidak ada masalah lagi setelah selesai mendirikan tenda. Ketika temenku yang cewek mbak eva dan novi lagi masak-masak, eh malah di datengi seekor babi hitam.  Mbak eva teriak minta tolong. Si Ai keluar dan mengusir si babi. Katanya babinya itu lumayan besar. Setelah kejadian itu kegiatan masak-masak sempat terhenti. Apalagi si Ai katanya merasa pusing dan mengalami hal aneh, tapi dia tidak mau bercerita soal ini. Ai kembali ke dalam tenda dan lebih memilih istirahat. Mbak eva juga tiba-tiba perutnya mual dan pengen muntah.  Cuma Novi, Ari, dan Aku yang di luar tenda dan masak air buat kopi dan mie instant untuk hidangan malam hari itu. Setelah itu kami semua beristirahat mengumpulkan tenaga untuk summit attack besok pagi. sekian

Sunday 2 March 2014

GUNUNG MERBABU | AKHIR PERJALANAN YANG MENYEDIHKAN

Mungkin bagi aku dan teman-temanku yang juga suka naik gunung, kisah ini akan menjadi kenangan dan pelajaran yang tak terlupakan. Ini karena kejadiannya yang nyaris menelan korban jiwa dan  membuat kami sangat terkejut disertai panik. Apalagi waktunya juga bertepatan dengan hari pahlawan dan hari ultahnya temanku yang waktu itu sempat dirayakan di puncak gunung yang kami naiki yaitu MERBABU.

Pada tanggal 9 November 2013, kami dengan jumlah personil 8 orang sepakat untuk mendaki ke gunung Merbabu melalui jalur Wekas. Dengan menggunakan sepeda motor, Aku boncengan dengan Heru, Heri dengan Fatah, Ari dengan Daniel, Aan dengan Yudi. Kami berangkat ba’da duhur dan hari itu sangat cerah, sehingga saat perjalanan di daerah wekas, kita sudah disuguhi pemandangan yang indah dan tak bosan untuk dilihat. Sore hari sekitar pukul 15.00 kami tiba di basecamp. Sebelum mendaki, kami menyiapkan dan memastikan lagi semua perlengkapan dan perbekalan  agar tidak ada yang terlewatkan. Setelah itu baru, Let’s go……!

Perjalanan menaiki gunung merbabu sangat lancar. Kami hanya menemui hal-hal yang boleh dibilang normal saja dan tidak menemui adanya kejadian-kejadian yang begitu berarti. Waktu itu banyak sekali mahasiswa/i dari berbagai kampus yang hendak melakukan pendakian ke gunung merbabu mulai dari pendaki kelas newbie sampai yang kelas berat. Ketika berjalan di jalur pendakian sesekali kita saling menyapa, walaupun itu terkadang sekedar basa-basi agar tidak dikira sombong. Hehe…. Saat hari sudah mulai gelap, kami menemui ada kelompok pendaki yang anggotanya sakit dan muntah-muntah. Dan kebetulan di kelompok kami, ada Heri (Mbah Heri) yang cukup pintar memijat. Aku melihat Heri mencoba memijat di bagian leher  dan juga mengelus-ngelus kening si pasien serta diberi sedikit minyak kayu putih, dan Alhamdulillah akhirnya si pasien merasa agak baikan, …..“makasih ea mas”…. dan mau melanjutkan lagi perjalanan.  Tidak lama setelah itu, kami juga menemui ada 4 pendaki cowok yang alat penerangnya tiba-tiba tidak berfungsi dan minta tolong agar mereka minta ijin untuk ikut di rombongan kita agar bisa sampai di area ngecamp. Sesampai di area ngecamp mereka mengucapkan terima kasih kemudian berpisah dari kelompok kami.  Di area ngecamp ternyata sudah sangat banyak sekali tenda yang sudah didirikan. Kami sempat bingung dimana akan mendirikan tenda, namun setelah cukup lama mencari-cari akhirnya ketemu juga tempat yang benar-benar pas untuk melepas lelah.

Keesokan harinya, sekitar jam 03.00 kami melakukan summit attack. Suhunya sangat dingin sampai menusuk tulang-belulang dan membuat kami sedikit  menggigil walaupun sudah mengenakan jaket yang tebal dan berlapis dua. Rrrrrrrrrrrrrr……… Tiba di puncak, kami merasa kecewa karena sunrisenya tertutup awan (T_T).  Oleh karena itu kita cuma semangat foto-foto dengan background gunung merapi dan juga pemandangan sabana yang cuantik. Oh iya, di puncak merbabu kami juga merayakan hari ultahnya Aan yang bertepatan dengan dengan hari pahlawah 10 November. Di puncak Aan mengeluarkan kue ulang tahun yang ia bawa dengan susah payah dari Jogja hingga ke puncak merbabu. Walaupun bentuk kuenya telah hancur dan tidak karu-karuan, lilin dengan aneka warna tetap ditancepin diatasnya. Setelah dinyalakan …… “happy birthday to you”……..berulang kali. Kemudian lilin ditiup dan selanjutnya menyantap kuenya sampe abiz. Baik di puncak kenteng songo maupun di puncak triangulasi, sama-sama rame. Saling tegur sapa dengan para pendaki akan menambah keakraban dan kegembiraan. Agar tidak terlalu dingin, waktu itu teman-temanku sempat membuat api dengan membakar kapur tulis yang telah direndam di minyak tanah. Dan ternyata banyak juga pendaki-pendaki lain yang berminat menghangatkan badan di sekitar api yang kami buat. Makin rame, makin hangat.

Setelah puas di puncak, kami turun menuju area ngecamp. Tiba di tenda, kami melakukan acara masak-masak. Yudi membawa sarden kaleng dan itu merupakan lauk satu-satunya yang dimiliki. Walaupun begitu, kita tetap berbagi dan menikmati santapan untuk mensuplai kembali energi yang habis. Setelah itu baru melakukan persiapan turun menuju basecamp. Ketika sudah mau cabut dari area ngecamp, eh malah tiba-tiba ada temenku (maaf nama tidak disebutkan) yang sakit perut, katanya sih dia pengen beol gitu. Karena mendapati kondisi kritis kayak gitu, akhirnya kami putuskan untuk nungguin dan duduk-duduk sambil bakar-bakar sampah. Setelah temenku itu merasa lega, kami akhirnya meninggalkan ara ngecamp.

Sebelum ke basecamp, sore itu kami bersih-bersih dan sholat dulu di masjid. Hujan turun dengan cukup deras dan memaksa kami untuk menggunakan mantel ketika ke basecamp. Karena kami sudah terbiasa diguyur hujan, kami memutuskan untuk langsung pulang ke jogja tanpa menunggu hujan reda.

Biasanya saat pulang dari gunung, merasa capek dan kantuk itu adalah pasti. Namun, kami tetap melanjutkan perjalanan pulang. Mungkin disebabkan besoknya ada UTS  di kampus. Jalan aspal yang kami lalui sangat bagus mulus, menurun, dan juga tidak terlalu ramai. Saking tenangnya kondisi jalan tersebut sampai-sampai membuat mata mulai mengantuk. Karena perjalanan dalam kondisi seperti itu tetap dipaksakan akhirnya musibah itu terjadi. Fatah dan Heri yang saling berboncengan mengalami kecelakaan tunggal. Dari atas sepeda motor yang aku tumpangi bersama Heru aku melihat ada keramaian, dan Heru bilang ke aku bahwa sepertinya ada yang kecelakaan. Ternyata benar ada kecelakaan, tapi belum tahu siapa korbannya. Sepeda motor yang ditumpangi korban terjatuh di sungai yang kedalamannya sekitar 1 meter dari jalan raya. Di atas sepeda motor itu ada korban yang posisinya seolah-olah sedang memeluk sepeda motor.  Setelah aku perhatikan ternyata yang di atas motor itu adalah HERI. Aku minta Heru untuk menghentikan motor dan saat aku menghampiri Heri, “Innalillahi….” Di mukanya Heri ada darah segar yang mengalir. Aku sempat mengira darah itu dari kepalanya, namun ternyata darah itu berasal dari luka luar di bagian hidung yang tergores akibat mencium bagian pinggir pelat motor secara paksa. Syukurlah bukan dari kepala korban. Yang parah adalah kakinya Heri ternyata masuk ke dalam celah antara kenalpot dan roda belakang, sehingga kakinya sempat terkena hawa yang sangat panas dari kenalpot dan menimbulkan luka bakar. Sedangkan Fatah yang membonceng Heri kondisi kedua tangannya sangat parah karena mengalami benturan dengan setang motor sehingga sangat sakit kalo dipakai menggenggam. Akhirnya kedua teman kami tersebut dibawa ke RST yang ada di Magelang untuk dirawat. Smentara motor yang ditumpangi dititipin di bengkel yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aku dan teman-teman yang lain sebenarnya tidak tahu saat peristiwa kecelakaan itu terjadi, karena jarak kami saat mengendarai sepeda motor begitu jauh satu sama lain. Dari keterangan penduduk yang ada lokasi kejadian yang melihat peristiwa itu mengatakan bahwa sepeda motor yang ditumpangin Fatah dan Heri melaju dengan sangat kencang. Namun entah kenapa, tiba-tiba motor oleng ke kiri hingga akhirnya menabrak pembatas di pinggir jalan sampai pembatasnya rubuh dan pecah jadi dua. Fatah terpental ke depan sementara Heri ikut jatuh ke sungai bersama motor. Dari warga lain juga menambahkan dari dulu di sepanjang jalan ini memang sering terjadi kecelakaan dan tidak tahu apa sebabnya. Kemudian beralih ke keterangannya Heri, dia tidak tahu menahu tentang kejadian tersebut, karena dia dalam kondisi ngantuk berat. Sedangkan dari keterangan Fatah, dia juga dalam kondisi mengantuk ketika sedang mengendarai motor. Fatah sempat bilang ke Heri sebelum kecelakaan terjadi bahwa dia ngantuk, namun sepertinya tidak ada respon berarti dari Heri karena dia juga ngantuk waktu dibonceng Fatah.

Peristiwa kecelakaan diatas memberikan pelajaran yang berharga bagi kami. Kami akhirnya sadar dan berfikir bahwa lain kali sebaiknya kalau kondisi fisik terlalu capek apalagi sampai mengantuk sebaiknya istirahat dulu sampai benar-benar fit. Adakalanya kita kuat, adakalanya kita lemah. Yang penting adalah jangan pernah mencoba memaksa tubuh yang lemah ini dalam hal apapun. Karena tubuh kita juga punya hak mengambil jeda untuk beristirahat.
Sekian.

Thursday 23 January 2014

PENDAKIAN GUNUNG LAWU VIA CANDI CETHO



Gunung lawu memiliki ketinggian 3265 mdpl dan terletak di antara perbatasan jawa tengah dan jawa timur. Jalur pendakian menuju puncak Lawu bisa dilakukan melalui cemorosewu, cemorokandang dan candi cetho. Start pendakian antara cemorosewu dan cemorokandang cukup berdekatan, hanya berjarak sekitar 500 meter. Sedangkan jalur candi cetho adalah jalur yang jarang dilalui dan masih sangat alami suasana alamnya.

Aku bersama empat orang teman sekampus yaitu, Heru, Heri, Ari, dan Aan,  sepakat untuk melakukan pendakian ke puncak lawu dan menuju candi cetho (pake sepeda motor), berangkat dari jogja hari jum’at tanggal 7 Juni 2013. Yaaaa…itung-itung acara pendakian ini sebagai pemanasan lah sebelum melakukan Ujian Akhir Semester yang tinggal beberapa hari lagi. Aan sebenarnya ndk bisa ikut, karena katanya lagi berhalangan…wakaka… namun pas di siang harinya tiba-tiba dia bilang bisa ikut ke Lawu dengan syarat kami berangkatnya agak sore jam 5an. Karena bagiku penambahan personil merupakan berita gembira, akhirnya diputuskan berangkat dari jogja sekitar jam segitu. Sekitar pukul 17.30 kami meninggalakan jogja menuju Solo untuk mampir dan istirahat dulu, di rumah temen sekampusku juga, namanya Kuni/Cuni. Kuniiiiii,,,,aku ucapkan beribu-ribu thanks for everything….hehe. Sebelum tidur, kami berlima sempat sharing mengenai jalur pendakian yang akan kami lalui besok. Oh iya, dari lima orang yang akan melakukan pendakian ini, hanya aku, heru dan heri yang sebelumnya menyempatkan diri browsing di internet mencari info tentang jalur candi cetho ini, karena kami belum pernah sama sekali lewat jalur itu.  Sedangkan Ari dan Aan sedikitpun belum tau apa-apa, tanya-tanya ke temen lainnya pun ndk pernah. Mungkin bagi mereka, terutama Ari, adalah yang penting berangkat. Nah, saat kami ngobrol bareng, Aan tiba-tiba tanya tentang kemungkinan tantangan yang akan dihadapi nanti. Aku menaikan alis mataku memberi kode agar si Heru yang jawab dan dia mengatakan “jalur cetho itu masih alami, jarang pendaki lewat jalur itu. Bahkan katanya dihutan yang dilalui masih banyak macannya”. Duerrrr…..Mendengar jawaban itu, Aan dan Ari bengong dan seolah-olah ndak percaya hal itu dan kembali bilang “iya po…?” dan si Heru bali bales “iya e….”. Si Ari tiba-tiba bunyi “wis... gak apa-apa, yang penting kita nanti jangan ganggu mereka”. Aan kemudian bales, “siip dah  kalo gitu”. Sebenarnya aku juga ingin menambahkan kalo jalur cetho itu sangat panjang dan menghabiskan waktu skitar 10 jam untuk sampe puncak, tapi mungkin sebaiknya besok saja pas sambil jalan saja bilangnya. Hehe…. So sorry guys…

Pagi sekali sekitar pukul 04.30 kami bangun sholat kemudian packing untuk melanjutkan perjalalanan. Tapi sebelum berangkat kami diminta sarapan dulu oleh ibunya Kuni. Ya udah, karena sudah disiapkan,akhirnya makanan yang nongkrong di meja makan langsung kami sikat, hehehe…. Setelah berpamitan dan minta do’a restu ortunya kuni, kami pun langsung tancap gas menuju candi cetho.

Akhirnya kami tiba di kawasan candi cetho dan cuaca waktu itu sedang mendung. Di cetho, kami menitipkan sepeda motor di salah satu rumah penduduk, setelah itu kami pergi membeli tiket masuk candi Rp 1500/orang, karena jalur pendakian yang kami lalui musti masuk candi cetho dulu. Setelah semua personil selesai melakukan persiapan, akhirnya kami memulai pendakian dengan melewati gerbang candi terus lurus dan disebelah kiri terdapat lorong untuk keluar kawasan candi. Di luar candi kita akan menemui kompleks tempat orang-orang berjualan makanan dan berujung pada loket tiket masuk ke cande ketek. Di loket kami melihat kalo masuk ke candi ketek musti bayar 1000/orang, tapi ketika kami bilang ke petugasnya kalo mau mendaki dan si petugas langsung mempersilahkan melanjutkan perjalanan tanpa dipungut biaya lagi. Di candi ketek suasananya sepi tidak seperti di candi cetho. Di candi ini kami hanya bertemu dengan sepasang muda mudi yang sedang bergaya sambil foto-foto.

Beberapa menit setelah melewati kawasan candi cetho, hujan rintik-rintik pun mulai turun dan dengan segera kami semua memasang mantel. Setelah berjalan sekitar 1 jaman akhirnya kami tiba di pos 1. Kami beristirahat sebentar saja kemudian melanjutkan lagi perjalanan hingga akhirnya sampai di pos 2.  Kami terus melanjutkan perjalanan dengan langkah yang cukup santai. Hujan rintik-rintik masih menimpa kami ketika sudah memasuki kawasan hutan yang lumayan lebat. Banyaknya pohon yang tinggi besar serta semak belukar membuat susana menjadi teduh dan sepi.

Tiba di pos 3, hujan sudah mulai reda, namun karena cuaca masih mendung aq tetap pake mantel karena siapa tau nanti hujannya turun lagi. Setelah minum-minum dan makan sedikit snack, pendakian terus berlanjut dan fisik kami masih tetap dalam keadaan prima walaupun berjam-jam diguyur hujan. Setelah melewati kawasan hutan yang lebat, kemudian kami sampai pada kawasan hutan yang sepertinya habis mengalami kebakaran. Selama ini dari awal perjalanan si Heru terus yang di depan. Tapi entah kenapa ketika tiba di kawasan hutan kebakaran ini tiba-tiba dia minta aku yang di depan sebagai penunjuk jalan. Aku sempat bertanya pura-pura gak tahu “emangnya ada apa bro?”. Sambil menyungging senyum si Heru cuma menjawab “Yaaaa… giliran lah yang jadi depan”. Mendengar jawaban si Heru, aku bales juga dengan “hehehe….”. Aku mencoba menawarkan ke teman yang lainnya, namun karena mereka beralasan gak tau jalan dan khawatir nyasar, akhirnya sekarang akulah yang di depan. Baiklah pemirsa semuanya, sebenarnya ceritanya begini, dari informasi di internet yang kami peroleh, pernah rombongan pendaki yang mendirikan tenda di kawasan hutan yang terbakar ini. Ketika mereka melakukan summit, mereka meninggalkan tendanya. Namun ketika turun dari puncak dan tiba di tenda, ternyata mereka menemui ada macan tutul yang masuk ke tendanya. Jadi disimpulkan bahwa dikawasan ini masih ada macan tutulnya. Nah, kira-kira begitu alasannya kenapa temen-temen enggan di depan setelah tiba dikawasan ini.

Berada di barisan paling depan membuatku menjadi lebih waspada karena aku merasa dijadikan tumbal oleh temen2…hehe. Aku berfikir seandainya macannya tiba-tiba menerkam, siapa lagi coba yang akan dicaplok pertama, tentu peluang yang terbesar adalah orang yang didepan kan?  Apalagi dari semua temen-temen tubuhku lah yang paling kecil dan paling mudah dimangsa oleh kucing besar ini. Walaupun begitu aku tidak terlalu khawatir dan terus berdoa mohon perlindungan kepada Allah swt. Di kawasan hutan terbakar medannya terus menanjak. Setelah cukup jauh berjalan di kawasan hutan terbakar, temenku Ari meminta untuk istirahat dulu. Di tempat ini, kami istirahat cukup lama dan sambil ngobrol-ngobrol. Si Ari yang kelihatan fisiknya mulai capek kemudian Tanya “masih jauh ya bro? kira-kira berapa jam lagi sampe puncak?”. Aku langsung jawab “masih jauh bro, katanya sih melewati hutan ini saja seolah-olah tak ada habisnya. Setelah melewati hutan ini, nanti kita akan menemui sabana yang juga seolah-olah tak ada habisnya”. Si Ari bengong, dan aku lanjutkan lagi penjelasanku, “oh iya, jalur candi cetho ini jaraknya sekitar 15 km bro sedangkan jalur lain Cuma 6 km. Jadi wajarlah kalo lama”. Mendengar jawabanku kali ini si Ari hanya membalas “Ya Allah….” Setelah istirahat dirasa sudah cukup,  dengan langkah-langkah kaki yang cukup berat kami terus berjalan, hingga kami menemukan shelter kecil dan ternyata itu adalah pos 4. Waktu telah menunjukan sekitar pukul 16.00 dan  kami memutuskan untuk sholat dulu.

Setelah berhenti di Pos 4, perjalanan berlanjut menuju pos berikutnya sambil mencoba mengakhiri keberadaan kami di bekas hutan yang terbakar dan beberapa waktu kemudian kami tiba di sabana yang amat luas yang banyak ditumbuhi oleh rerumputan setinggi antara lutut dan paha. Waktu itu hari sudah mulai gelap dan kami tidak mendapatkan keindahan panorama alam yang ada di wilayah tersebut.  Bahkan hujan rintik-rintik lagi-lagi mulai membasahi kami dan mengenai rerumputan yang kami lewati, sehingga membuat kaki kami agak kedinginan. Langkah kaki semakin menurun kecepatannya dan setelah melihat kiri kanan ternyata kami telah sampai di dekat  pohon yang tertempel papan yang bertuliskan “Pos 5”. Jangankan berencana ngecamp, di Pos 5 kami hanya lewat begitu saja tanpa mengambil waktu istirahat sedetikpun. Ini dikarenakan kami telah memilih untuk mengabiskan perjalanan di sabana dan ngecamp di tempat yang lebih dekat lagi dengan puncak. Namun ternyata kami mengurungkan niat itu, karena si Ari merasa sangat kelelahan dan kedinginan sehingga kami memutuskan untuk mencari tempat yang datar untuk mendirikan tenda. Alhamdulillah kami mendapatkan wilayah yang bagus untuk mendirikan tenda. Aku dan Aan bertugas mendirikan tenda kapasitas 6 orang sedangkan Heru dan Heri mendampingi Ari yang ternyata katanya mengalami gejala hipo.

Aku dan Aan berhasil mendirikan tenda sedangkan Ari Alhamdulillah telah sadar dan pulih lagi, namun dia sepertinya perlu untuk istirahat untuk menghimpun tenaga. Malam itu begitu sepiiii dan yang terdengar oleh kami hanya suara hembusan angin yang menerpa pepohonan yang ada di sabana. Di tempat yang lapang itu hanya ada kami berlima dan seolah-olah tempat itu adalah milik kami sepenuhnya sebagai nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Malam itu kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam tenda. Selesai sholat kami masak-masak dan makan malam dengan lauk kombinasi dari snack Tic-tac dan Mie. Perut kenyang dan kemudian tidur…. Zzzzzzzzz….

Saat subuh, aq terbangun dan suasana masih sangat dingin sekali. Ketika keluar tenda, suhunya jauh lebih dingin. Di luar tenda aq menatap ke langit dan melihat bintang-bintang, “Alhamdulillah tidak mendung” pikirku. Temen-tmen juga sudah ada yang bangun dan memulai aktivitas di pagi hari. Sabana tempat kami mendirikan tenda terlihat begitu indah, namun karena alasan waktu kami tidak akan berlama-lama disini dan harus menginjakkan kaki di puncak lawu sesegera mungkin. Setelah tenda kami bongkar dan semua siap, kami berjalan lagi di sabana yang masih belum habis untuk ditelusuri.

Beberapa jam setelah berjalan melewati sabana, kami melihat ada bekas reruntuhan bangunan dan dari kejauhan terdengar suara ramai dari para pendaki. Oh… ternyata itu adalah puncak Hargo dalem. Di hargo dalem kami melewati warungnya Mbok Yem dan berencana mampir makan siang setelah turun dari puncak hargo dumilah.

Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di puncak hargo dumilah, puncak tertinggi di gunung lawu. Di puncak ini banyak sekali pendaki yang kami temui, banyak dari mereka yang foto-foto. Kami yang baru sampai di puncak tersebut, tidak mau kalah. Sebagai wujud kegembiraan kami mencapai puncak tersebut, semua kamera dikeluarkan dan langsung pasang gaya jeprat-jepret disana-sini. Hehe….

Awalnya cuaca di puncak cerah, tapi kenapa tiba-tiba menjadi mendung. Oleh karena itu, setelah puas foto-foto kami berkemas untuk turun menuju warung mbok Yem. Di warungnya mbok Yem, kami istirahat, minum teh panas dan pesan makanan. Alhamdulillah, nikmat sekali rasanya… perjalanan yang tadi kami lalui kami jadikan  sebagai bahan obrolan sambil menyantap hidangan.

Badan kami terasa bertenaga lagi karena di warungnya mbok Yem benar-benar dicas penuh untuk perjalanan turun. Siang itu hujan turun, walaupun tidak terlalu deras. Lagi-lagi karena alasan waktu, kami tidak peduli turun hujan ato tidak, yang penting saat itu juga harus turun dan melewati jalur yang jaraknya lebih pendek yakni jalur cemorosewu. Jalur di cemorosewu berbentuk tangga yang sengaja disusun dari batu-batuan. Waktu yang kami butuhkan untuk turun lumayan cepat sehingga sorenya kami sudah sampai di pos lapor cemorosewu. Di dekas pos pendakian terdapat masjid dan kami istirahat dan bersih-bersih disana.
Badan terasa segar dan bersih kembali setelah  gosok-gosok di masjid. Pas keluar dari masjid, kami mencarter mobil buat perjalanan ke candi cetho karena kami harus mengambil motor di basecampnya. Tiba di cetho kami minum teh sebentar, dan setelah mengurus administrasi kami cabut menuju solo dan keesokan harinya ke jogja. Sekian….