Gunung lawu memiliki ketinggian 3265 mdpl dan terletak di
antara perbatasan jawa tengah dan jawa timur. Jalur pendakian menuju puncak
Lawu bisa dilakukan melalui cemorosewu, cemorokandang dan candi cetho. Start pendakian
antara cemorosewu dan cemorokandang cukup berdekatan, hanya berjarak sekitar 500
meter. Sedangkan jalur candi cetho adalah jalur yang jarang dilalui dan masih
sangat alami suasana alamnya.
Aku bersama empat orang teman sekampus yaitu, Heru, Heri,
Ari, dan Aan, sepakat untuk melakukan pendakian
ke puncak lawu dan menuju candi cetho (pake sepeda motor), berangkat dari jogja
hari jum’at tanggal 7 Juni 2013. Yaaaa…itung-itung acara pendakian ini sebagai
pemanasan lah sebelum melakukan Ujian Akhir Semester yang tinggal beberapa hari
lagi. Aan sebenarnya ndk bisa ikut, karena katanya lagi berhalangan…wakaka…
namun pas di siang harinya tiba-tiba dia bilang bisa ikut ke Lawu dengan syarat
kami berangkatnya agak sore jam 5an. Karena bagiku penambahan personil
merupakan berita gembira, akhirnya diputuskan berangkat dari jogja sekitar jam
segitu. Sekitar pukul 17.30 kami meninggalakan jogja menuju Solo untuk mampir
dan istirahat dulu, di rumah temen sekampusku juga, namanya Kuni/Cuni. Kuniiiiii,,,,aku
ucapkan beribu-ribu thanks for everything….hehe. Sebelum tidur, kami berlima
sempat sharing mengenai jalur pendakian yang akan kami lalui besok. Oh iya,
dari lima orang yang akan melakukan pendakian ini, hanya aku, heru dan heri
yang sebelumnya menyempatkan diri browsing di internet mencari info tentang
jalur candi cetho ini, karena kami belum pernah sama sekali lewat jalur itu. Sedangkan Ari dan Aan sedikitpun belum tau
apa-apa, tanya-tanya ke temen lainnya pun ndk pernah. Mungkin bagi mereka,
terutama Ari, adalah yang penting berangkat. Nah, saat kami ngobrol bareng, Aan
tiba-tiba tanya tentang kemungkinan tantangan yang akan dihadapi nanti. Aku
menaikan alis mataku memberi kode agar si Heru yang jawab dan dia mengatakan
“jalur cetho itu masih alami, jarang pendaki lewat jalur itu. Bahkan katanya
dihutan yang dilalui masih banyak macannya”. Duerrrr…..Mendengar jawaban itu,
Aan dan Ari bengong dan seolah-olah ndak percaya hal itu dan kembali bilang
“iya po…?” dan si Heru bali bales “iya e….”. Si Ari tiba-tiba bunyi “wis... gak
apa-apa, yang penting kita nanti jangan ganggu mereka”. Aan kemudian bales,
“siip dah kalo gitu”. Sebenarnya aku
juga ingin menambahkan kalo jalur cetho itu sangat panjang dan menghabiskan
waktu skitar 10 jam untuk sampe puncak, tapi mungkin sebaiknya besok saja pas
sambil jalan saja bilangnya. Hehe…. So sorry guys…
Pagi sekali sekitar pukul 04.30 kami bangun sholat kemudian
packing untuk melanjutkan perjalalanan. Tapi sebelum berangkat kami diminta
sarapan dulu oleh ibunya Kuni. Ya udah, karena sudah disiapkan,akhirnya makanan
yang nongkrong di meja makan langsung kami sikat, hehehe…. Setelah berpamitan
dan minta do’a restu ortunya kuni, kami pun langsung tancap gas menuju candi
cetho.
Akhirnya kami tiba di kawasan candi cetho dan cuaca waktu
itu sedang mendung. Di cetho, kami menitipkan sepeda motor di salah satu rumah
penduduk, setelah itu kami pergi membeli tiket masuk candi Rp 1500/orang,
karena jalur pendakian yang kami lalui musti masuk candi cetho dulu. Setelah
semua personil selesai melakukan persiapan, akhirnya kami memulai pendakian
dengan melewati gerbang candi terus lurus dan disebelah kiri terdapat lorong
untuk keluar kawasan candi. Di luar candi kita akan menemui kompleks tempat
orang-orang berjualan makanan dan berujung pada loket tiket masuk ke cande
ketek. Di loket kami melihat kalo masuk ke candi ketek musti bayar 1000/orang,
tapi ketika kami bilang ke petugasnya kalo mau mendaki dan si petugas langsung
mempersilahkan melanjutkan perjalanan tanpa dipungut biaya lagi. Di candi ketek
suasananya sepi tidak seperti di candi cetho. Di candi ini kami hanya bertemu
dengan sepasang muda mudi yang sedang bergaya sambil foto-foto.
Beberapa menit setelah melewati kawasan candi cetho, hujan rintik-rintik
pun mulai turun dan dengan segera kami semua memasang mantel. Setelah berjalan
sekitar 1 jaman akhirnya kami tiba di pos 1. Kami beristirahat sebentar saja
kemudian melanjutkan lagi perjalanan hingga akhirnya sampai di pos 2. Kami terus melanjutkan perjalanan dengan
langkah yang cukup santai. Hujan rintik-rintik masih menimpa kami ketika sudah
memasuki kawasan hutan yang lumayan lebat. Banyaknya pohon yang tinggi besar
serta semak belukar membuat susana menjadi teduh dan sepi.
Tiba di pos 3, hujan sudah mulai reda, namun karena cuaca
masih mendung aq tetap pake mantel karena siapa tau nanti hujannya turun lagi.
Setelah minum-minum dan makan sedikit snack, pendakian terus berlanjut dan
fisik kami masih tetap dalam keadaan prima walaupun berjam-jam diguyur hujan.
Setelah melewati kawasan hutan yang lebat, kemudian kami sampai pada kawasan
hutan yang sepertinya habis mengalami kebakaran. Selama ini dari awal
perjalanan si Heru terus yang di depan. Tapi entah kenapa ketika tiba di
kawasan hutan kebakaran ini tiba-tiba dia minta aku yang di depan sebagai
penunjuk jalan. Aku sempat bertanya pura-pura gak tahu “emangnya ada apa bro?”.
Sambil menyungging senyum si Heru cuma menjawab “Yaaaa… giliran lah yang jadi
depan”. Mendengar jawaban si Heru, aku bales juga dengan “hehehe….”. Aku
mencoba menawarkan ke teman yang lainnya, namun karena mereka beralasan gak tau
jalan dan khawatir nyasar, akhirnya sekarang akulah yang di depan. Baiklah
pemirsa semuanya, sebenarnya ceritanya begini, dari informasi di internet yang
kami peroleh, pernah rombongan pendaki yang mendirikan tenda di kawasan hutan
yang terbakar ini. Ketika mereka melakukan summit, mereka meninggalkan
tendanya. Namun ketika turun dari puncak dan tiba di tenda, ternyata mereka
menemui ada macan tutul yang masuk ke tendanya. Jadi disimpulkan bahwa
dikawasan ini masih ada macan tutulnya. Nah, kira-kira begitu alasannya kenapa
temen-temen enggan di depan setelah tiba dikawasan ini.
Berada di barisan paling depan membuatku menjadi lebih
waspada karena aku merasa dijadikan tumbal oleh temen2…hehe. Aku berfikir
seandainya macannya tiba-tiba menerkam, siapa lagi coba yang akan dicaplok
pertama, tentu peluang yang terbesar adalah orang yang didepan kan? Apalagi dari semua temen-temen tubuhku lah
yang paling kecil dan paling mudah dimangsa oleh kucing besar ini. Walaupun
begitu aku tidak terlalu khawatir dan terus berdoa mohon perlindungan kepada
Allah swt. Di kawasan hutan terbakar medannya terus menanjak. Setelah cukup
jauh berjalan di kawasan hutan terbakar, temenku Ari meminta untuk istirahat
dulu. Di tempat ini, kami istirahat cukup lama dan sambil ngobrol-ngobrol. Si
Ari yang kelihatan fisiknya mulai capek kemudian Tanya “masih jauh ya bro?
kira-kira berapa jam lagi sampe puncak?”. Aku langsung jawab “masih jauh bro,
katanya sih melewati hutan ini saja seolah-olah tak ada habisnya. Setelah
melewati hutan ini, nanti kita akan menemui sabana yang juga seolah-olah tak
ada habisnya”. Si Ari bengong, dan aku lanjutkan lagi penjelasanku, “oh iya,
jalur candi cetho ini jaraknya sekitar 15 km bro sedangkan jalur lain Cuma 6 km.
Jadi wajarlah kalo lama”. Mendengar jawabanku kali ini si Ari hanya membalas
“Ya Allah….” Setelah istirahat dirasa sudah cukup, dengan langkah-langkah kaki yang cukup berat
kami terus berjalan, hingga kami menemukan shelter kecil dan ternyata itu
adalah pos 4. Waktu telah menunjukan sekitar pukul 16.00 dan kami memutuskan untuk sholat dulu.
Setelah berhenti di Pos 4, perjalanan berlanjut menuju pos
berikutnya sambil mencoba mengakhiri keberadaan kami di bekas hutan yang
terbakar dan beberapa waktu kemudian kami tiba di sabana yang amat luas yang banyak
ditumbuhi oleh rerumputan setinggi antara lutut dan paha. Waktu itu hari sudah
mulai gelap dan kami tidak mendapatkan keindahan panorama alam yang ada di
wilayah tersebut. Bahkan hujan
rintik-rintik lagi-lagi mulai membasahi kami dan mengenai rerumputan yang kami
lewati, sehingga membuat kaki kami agak kedinginan. Langkah kaki semakin
menurun kecepatannya dan setelah melihat kiri kanan ternyata kami telah sampai
di dekat pohon yang tertempel papan yang
bertuliskan “Pos 5”. Jangankan berencana ngecamp, di Pos 5 kami hanya lewat
begitu saja tanpa mengambil waktu istirahat sedetikpun. Ini dikarenakan kami
telah memilih untuk mengabiskan perjalanan di sabana dan ngecamp di tempat yang
lebih dekat lagi dengan puncak. Namun ternyata kami mengurungkan niat itu,
karena si Ari merasa sangat kelelahan dan kedinginan sehingga kami memutuskan
untuk mencari tempat yang datar untuk mendirikan tenda. Alhamdulillah kami
mendapatkan wilayah yang bagus untuk mendirikan tenda. Aku dan Aan bertugas
mendirikan tenda kapasitas 6 orang sedangkan Heru dan Heri mendampingi Ari yang
ternyata katanya mengalami gejala hipo.
Aku dan Aan berhasil mendirikan tenda sedangkan Ari
Alhamdulillah telah sadar dan pulih lagi, namun dia sepertinya perlu untuk
istirahat untuk menghimpun tenaga. Malam itu begitu sepiiii dan yang terdengar
oleh kami hanya suara hembusan angin yang menerpa pepohonan yang ada di sabana.
Di tempat yang lapang itu hanya ada kami berlima dan seolah-olah tempat itu
adalah milik kami sepenuhnya sebagai nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa. Malam itu kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam tenda. Selesai
sholat kami masak-masak dan makan malam dengan lauk kombinasi dari snack
Tic-tac dan Mie. Perut kenyang dan kemudian tidur…. Zzzzzzzzz….
Saat subuh, aq terbangun dan suasana masih sangat dingin
sekali. Ketika keluar tenda, suhunya jauh lebih dingin. Di luar tenda aq
menatap ke langit dan melihat bintang-bintang, “Alhamdulillah tidak mendung”
pikirku. Temen-tmen juga sudah ada yang bangun dan memulai aktivitas di pagi
hari. Sabana tempat kami mendirikan tenda terlihat begitu indah, namun karena
alasan waktu kami tidak akan berlama-lama disini dan harus menginjakkan kaki di
puncak lawu sesegera mungkin. Setelah tenda kami bongkar dan semua siap, kami
berjalan lagi di sabana yang masih belum habis untuk ditelusuri.
Beberapa jam setelah berjalan melewati sabana, kami melihat
ada bekas reruntuhan bangunan dan dari kejauhan terdengar suara ramai dari para
pendaki. Oh… ternyata itu adalah puncak Hargo dalem. Di hargo dalem kami
melewati warungnya Mbok Yem dan berencana mampir makan siang setelah turun dari
puncak hargo dumilah.
Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di puncak hargo
dumilah, puncak tertinggi di gunung lawu. Di puncak ini banyak sekali pendaki
yang kami temui, banyak dari mereka yang foto-foto. Kami yang baru sampai di
puncak tersebut, tidak mau kalah. Sebagai wujud kegembiraan kami mencapai
puncak tersebut, semua kamera dikeluarkan dan langsung pasang gaya
jeprat-jepret disana-sini. Hehe….
Awalnya cuaca di puncak cerah, tapi kenapa tiba-tiba menjadi
mendung. Oleh karena itu, setelah puas foto-foto kami berkemas untuk turun
menuju warung mbok Yem. Di warungnya mbok Yem, kami istirahat, minum teh panas
dan pesan makanan. Alhamdulillah, nikmat sekali rasanya… perjalanan yang tadi
kami lalui kami jadikan sebagai bahan
obrolan sambil menyantap hidangan.
Badan kami terasa bertenaga lagi karena di warungnya mbok
Yem benar-benar dicas penuh untuk perjalanan turun. Siang itu hujan turun,
walaupun tidak terlalu deras. Lagi-lagi karena alasan waktu, kami tidak peduli
turun hujan ato tidak, yang penting saat itu juga harus turun dan melewati
jalur yang jaraknya lebih pendek yakni jalur cemorosewu. Jalur di cemorosewu
berbentuk tangga yang sengaja disusun dari batu-batuan. Waktu yang kami
butuhkan untuk turun lumayan cepat sehingga sorenya kami sudah sampai di pos
lapor cemorosewu. Di dekas pos pendakian terdapat masjid dan kami istirahat dan
bersih-bersih disana.
Badan terasa segar dan bersih kembali setelah gosok-gosok di masjid. Pas keluar dari
masjid, kami mencarter mobil buat perjalanan ke candi cetho karena kami harus
mengambil motor di basecampnya. Tiba di cetho kami minum teh sebentar, dan
setelah mengurus administrasi kami cabut menuju solo dan keesokan harinya ke
jogja. Sekian….